Fatiah NM's OCs ✨
Surat Cinta Cahaya PagiDitengah musim ujian akhir SMA, Genji menerima surat cinta dari seseorang yang memanggil dirinya Cahaya Pagi. Ini bukan pertama kalinya Genji mendapat surat cinta, bisa dibilang ia memang salah satu siswa paling populer di sekolah. Tetapi sesuatu tentang surat cinta itu membuatnya marah, dan ia bertekad untuk mencari tau siapa identitas asli si pengirim.
Fauzi dan Kawan-KawanCerita Fauzi dan teman-temannya dalam petualangan menghentikan kriminal kelas kakap dengan bantuan alat-alat canggih buatan Dokter Owl.

Buku 1: Muslihat Sulut Suanggi (unpublished)Saat berkunjung ke rumah "Profesor Owl" untuk meminta bantuan atas tugas fisika mereka, Dokter Owl juga menunjukkan mereka penemuan barunya: sumbu yang bisa terbakar dengan sangat lambat dan jam tangan serba guna.Tetapi pada suatu malam di sebuah pesta pernikahan teman bisnis Pamannya, Fauzi menemukan hadiah aneh yang dililit sumbu terbakar Dokter Owl. Instingnya mengatakan ia harus menyingkirkan benda itu dan ketika melihat isinya, rupanya si sumbu terhubung ke sebuah bom.

Buku 1.5: Tujuh Detik Menghilangnya AkuFauzi dan Fira berhasil membuat Fathia masuk mesin waktu Dokter Owl dengan iming-iming novel, yang tidak mereka tau dia harus menghadapi banyak ancaman kematian karenanya.Catatan: Cerita ini di tulis dalam rangka sebuah tantangan menulis "apa yang akan kamu lakukan jika bertemu penulis favorit", sampai sekarang aku masih suka dengan cerita ini karena banyak mengambil elemen dari penulis favoritku.

Buku 2: Kemelut Kotak Tidur (unpublished)Undangan untuk datang ke konser biola dari teman baru mereka, Alya, berakhir kacau ketika semua orang (termasuk Alya) jatuh tertidur begitu musik bermain. Aldo yang kebetulan pergi ke kamar mandi saat hal itu berlangsung menemukan bahwa biola Alya disusupi dengan sebuah kotak dengan lambang burung hantu Dokter Owl. Tidak lama beberapa orang masuk ruangan dan mulai merampokki para pengunjung yang tertidur, Fauzi dkk cepat-cepat membuat kekacauan agar rencana tersebut gagal. Lebih banyak teror mengejar mereka setelah itu, tetapi dengan kekuatan persaha--pfft

Buku 3: Kesumat Empat BengkarungKomplotan kriminal yang terus dihentikan oleh Fauzi dkk tidak tahan lagi dengan parasit yang terus mengganggu rencana mereka. Maka mereka mencoba untuk mulai mendapatkan kepercayaan anak-anak itu, lalu satu-persatu mengakhiri mereka.
KuwalayaIde awal cerita Kuwalaya adalah keinginan mengeksplor kisah fantasi dengan tokoh utama yang terlihat tidak cocok dengan dunia fantasi. Ketika anak-anak ajaib diselamatkan oleh anak-anak biasa.Kelamaan OCverse ini jadi tempat pulang paling nyaman untuk cerita-cerita absurd yang bisa kukaitkan satu sama lain dalam berbagai jenis media.Cerita-cerita Kuwalaya berdasarkan kronologi:

IRKI bercerita tentang petualangan tokoh utama tanpa nama dan sahabatnya, Irki, menghadapi kebun bunga dan beruang hutan
IRKI
Epilog(s)***

SCCPFantasyAU mengeksplor paralel cerita SCCP dalam setting fantasi.
Yodha Palsu***

Cerita utama latar dunia Kuwalaya (Sedang ditulis ulang)tag instagram

Mengalihkan pandangan dari tumpukan surat dan pena di atas meja, Terik meraih secarik kertas yang dijulurkan Benih sejak tadi. "Dan, kau memberiku ini, karena?""Kau bilang hanya sihir Pargata yang bisa membantumu sekarang" Jawab sang Penjaga, berjalan menjauhi gadis itu menuju kursi tamu di ruangan, dalam sekejap menyamankan diri di atas furnitur mahal milik keluarga bangsawan."Ini bukan Pargata" jawab Terik, melambai-lambaikan kertas dengan tulisan besar 'SAYEMBARA PERBURUAN YODA PALSU' ituAh, keluhan lagi, tentu saja bukan. Bagaimana mungkin dia bisa bertemu hewan berbicara tanpa terbunuh di masa ini. Manusia terakhir yang melakukan itu menjadi gila dan mengurung diri sampai rumah gubuknya diselimuti perdu lalu mati sendirian.* "Benar, tapi itu yang paling dekat yang bisa kita dapatkan""Terdengar seperti penipuan" sahut Terik "kau tak baca kata PALSU di sini, ya?" dilipatnya rapi-rapi kertas usang tersebut dan kembali melanjutkan entah pekerjaan apa yang sibuk ia lakukan sejak tadi. Mungkin rekomendasi untuk rival keluarga mereka lainnya."Kau tau aku mencoba membantu""Kuhargai""Jadi bisa kau berhenti membenci Langit Sore?""Aku tidak membencinya""Hm, tentu, hanya mencoba mensabotase segala tindak-tanduknya" Benih menghela nafas panjang "Maksudku adalah, kalau kau terus memusatkan perhatian pada kakakmu, apa bedanya kau dengan orang-orang yang membandingkan kalian?""Oh, lihat siapa yang bicara" selirih tawa, bukan tawa yang manis. Perasaan Terik jelas sedang tidak baik."Bukan perubahan dalam semalam, aku paham" Benih berdiri. Diambilnya lipatan kertas pengumuman sayembara dari samping tumpukan surat. "Dia bersembunyi di gubuk bekas Si Pengecut, tak ada warga yang melapor, mereka takut tempat itu terkutuk""Terima kasih, Penjaga"Dan dengan begitu, Benih membungkukkan badan, pamit dari hadapan putri keluarga Angkasa.Tapi usikannya tidak pergi dari kepala Terik. Benih tidak bodoh, malah ia salah satu penjaga tercerdas di Apsara. Menemukan tempat si Yoda Palsu sebelum para pengawas, membiarkan kriminal itu hidup hanya supaya Terik bisa bertemu lebih dulu tanpa terhalang regulasi penjara bawah tanah. Bagaimanapun, tak mungkin seseorang dilabeli Yoda Palsu tanpa semacam kemampuan untuk dicurigai demikian.Tetap saja. Gubuk si Pengecut... . Kau tidak bisa percaya bahwa manusia mampu melakukan keajaiban dan skeptis pada kutukan Si Pengecut pada saat yang bersamaan.*Lihat IRKI

1. Beruang MatiSore hari ketika Irki pulang dari hutan Utara. Sorak sorai yang terjadi ketika warga desa menyadari bahwa di ujung tombak yang ia bawa terdapat kepala beruang hitam. Tapi itu tak lama, saat mereka tau bahwa ia pulang sendirian.Itu adalah malam paling aneh yang pernah terjadi di hidupku. Pesta kematian, pesta penyambutan. Semuanya dilakukan di malam yang sama. Doa-doa dipanjatkan untuk mereka yang gugur, tapi tawa dan canda melingkupi seorang pahlawan yang pulang."Ayo kau harus ikut" kata Ibu, mengajakku ke aula desa. Katanya, sang pahlawan akan bercerita. Beliau lebih bingung kenapa aku harus diajak, setaunya aku suka makhluk-makhluk hutan Utara, setaunya aku suka cerita, setaunya aku pernah berteman baik dengan sang pahlawan.Tapi aku tetap di kamarku. Memandang nanar langit malam yang semakin muram. Kalau saja bukan karena asap pembakaran puluhan kambing guling dan lentera-lentera yang dipasang wujud sukacita. Pasti bintang-bintang akan terlihat lebih jelas.Malam semakin larut ketika beberapa pemuda lewat dalam perjalanan pulang mereka."Itu baru Irki yang kukenal!" pungkasnya.Mereka menoleh ke belakang, rupanya sang pahlawan berjalan bersama mereka. Tersenyum. Aku heran bagaimana caranya ia bisa pulang dengan berjalan kaki begitu, kukira seseorang akan memaksanya menaiki tandu kebesaran, atau lebih hebat, melarangnya untuk kembali ke gubuk kecil yang ia sebut rumah.Ia menoleh ke jendela kamarku. Pandangan kami bertemu. Kami tidak saling tersenyum, apalagi menyapa. Bagiku, Irki sudah mati sejak pertama kali mengikrar akan membunuh Baru. Bahkan ketika ia seolah bangkit dari kubur sekarang pun, rinduku tidak terbayar. Terserah orang-orang berkata Irki yang sebenarnya sudah kembali, mungkin memang sejak awal aku tidak pernah mengenalnya.2. Bunga MatiMaaf tidak terucap karena memang tidak ada kesalahan. Terima kasih tidak disampaikan karena tidak ada untungnya bagiku. Ibu bilang tidak baik bertengkar terlalu lama. Entahlah, aku jadi bertanya-tanya apa sebenarnya kami memang pernah berteman? Bukankah tak akan putus apa yang tak pernah terjalin?"Kau egois kalau marah hanya karena monster itu" kata Ibu.Puluhan orang, puluhan tahun, dikirim hanya untuk mengejar kepala Baru. Puluhan orang tewas, dan puluhan lagi dikirim untuk pembalasan dendam. Sebenarnya, siapa yang monster?"Bunga-bungaku mati" kata Irki ketika aku kebetulan lewat di depan rumahnya "kau berjanji akan merawat mereka saat aku pergi."Kau berjanji tidak akan membunuh seekor pun makhluk hutan Utara""Jadi kita impas?""Anggap saja begitu"Tapi tidak.Bagaimana pun, Irki akan selalu menjadi pahlawan. Mungkin memang begitu. Mungkin, cepat atau lambat Baru akan mengunjungi desa dan menghabisi kami semua karena dendamnya. Mungkin kematian hewan itu sepadan dengan semua nyawa yang telah menantangnya. Dan Irki sungguh-sungguh adalah seorang pahlawan yang memutus rantai dendam itu.Sementara aku? Selamanya menjadi anak petani biasa yang tidak becus merawat tanaman temannya. Tidak kurang tidak lebih.3. Manusia MatiAku melihat Irki mengunjungi makam kosong mereka yang gugur dalam ekspedisi terakhir melawan Baru. Membawa bunga yang tak pernah kulihat, membacakan cerita yang tak pernah kudengar.Ia menangis. Aku tidak punya simpati lagi untuknya, aku tidak mengenalnya, semua ini toh karena keinginannya sendiri."Kalau boleh memilih, aku lebih baik menjadi tukang bunga seumur hidup" katanya, entah pada siapa "mereka bilang hanya aku yang bisa. Kenapa mereka percaya padaku yang tidak percaya pada diri sendiri?""Tapi kau berhasil" aku berbisik."Tapi aku berhasil, kalau bukan karena kalian aku tak akan mungkin berhasil"Irki berbalik. Aku pura-pura baru datang, bilang hendak mengunjungi Ayah.Aku sama sekali tidak mendendam pada Irki. Ia melakukan apa yang harus dilakukan. Dia tidak membutuhkan maaf dariku. Tapi maaf aku pun tak akan meminta maaf padanya.Biar saja kami jadi orang asing sekarang. Kehilangan satu sama lain. Ah, tidak, tak akan hilang apa yang tak pernah dimiliki. Tak perlu penyelesaian sesuatu yang bukan masalah.Jika membawa luka sendirian adalah bentuk kesombongan maka biarlah kami menjadi manusia paling angkuh dimuka bumi. Atau mungkin manusia paling naif, yang percaya bahwa hanya butuh waktu dan hati yang lapang untuk kembali bahagia.4. Anak-anak yang kehilanganAku tidak punya ayah.Ayah masuk ke Hutan Utara pada suatu hari, dan tak pernah kembali. Bagi warga desa, apa yang terjadi padanya sudah jelas: ayah tewas oleh Baru. Bahkan meski hal itu tak pernah dikatakan kepadaku, aku tetap tau dari bisikan-bisikan yang lewat di belakangku."Kasihan, ya, semuda itu sudah jadi yatim"Jika mereka sungguhan peduli mereka seharusnya memikirkan itu sebelum mengirim ayahku untuk ekspedisi. Sebelum mengirim ayah-ayah lain sebelum ekspedisi. Bagiku, ayah sudah mati sejak menginjakan kaki di Hutan Utara. Aku tau, bahwa sekeras apapun aku menangis, ayah tak akan bisa kembali dengan utuh. Maka sebulan berlalu, dua bulan berlalu, dan orang-orang tau kami gagal lagi, seperti orang bodoh melakukan kesalahan yang sama.Umurku tiga belas tahun ketika aku berdiri di depan Hutan Utara. Membelakangi batu nisan ayah, dan melangkah masuk ke Hutan Utara. Aku tidak ingat memikirkan apa, atau bahkan jika aku benar-benar berpikir. Aku masuk, menyusuri hutan sendirian di tengah malam.Aku sama sekali tidak merasa takut. Ketakutanku adalah kehilangan ayah, dan aku sudah melaluinya. Umurku tiga belas tahun, artinya hanya empat tahun lagi aku kemungkinan memiliki takdir yang sama dengan ayah. Untuk apa mengulur waktu?Dalam gelap hutan utara itulah aku bertemu dengan Irki. Ia membawa parang dan kebencian di matanya. Sekilas saja aku tau kalau dia memiliki niat yang berbeda denganku. Aku masuk untuk mati. Irki masuk untuk hidup.5. ditepati: Merawat BungaTak ada Irki pada cerita hari ini. Ini hari ketiga semenjak Irki pergi ke dalam Hutan Utara dalam ekspedisi memburu Baru yang terakhir.Aku mampir ke rumah Irki lagi untuk ketiga kalinya. Ibunya menyapaku lagi. Kemudian berbasa-basi aku tak perlu datang setiap hari lagi. Aku membalas dengan jawaban yang sama sejak kemarin, tidak apa-apa, aku sudah berjanji. Hanya perlu menunggu waktu sampai kami sama-sama bosan dan menghentikan mengulangi sopan santun ini.Aku menuju kebunnya, dan menghela nafas panjang. Baru tiga hari Irki pergi dan aku sudah mengacaukan bunga-bunganya.Ini bukan sepenuhnya salahku, aku bukan pekebun. Aku anak petani. Aku tidak tau merawat bunga dan menanam sayur bisa memiliki perbedaan sejauh ini.Irki juga salah. Dia harusnya tidak meminta bantuanku. Atau setidaknya mengajariku sebelum pergi. Anak itu hanya memberikan selembar perkamen, bilang bahwa itu berisi intruksi mengurus bunga-bunga nya tapi yang tertulis di sana hanya 'dengan cinta'. Hanya satu kalimat yang bahkan tidak lengkap itu.—Aku hampir merobeknya, berpikir untuk membakarnya, tapi masih ada banyak bagian kosong yang bisa ditulisi jadi benda itu masih kusimpan.—Aku melakukan apa yang kutau, apa yang sering kulihat. Memberi pupuk, menyiram dengan air, menyingkirkan bulma dan memotong beberapa daun yang menghalangi bunga. Bunga. Bunga. Aku bahkan tidak tau sebagian besar nama tanaman-tanaman ini. Bunga-bunga Irki, kebanyakan aneh. Maksudku beberapa aku kenal, mawar, anggrek, aster, tapi kebanyakan tak umum aku lihat.Kadang aku berpikir mungkin hanya perasaanku saja bunga-bunga ini layu. Atau tidak secerah biasanya. Mungkin sebenarnya warnanya memang selalu seaneh ini."Wah kacau" dan suara itu selalu datang tepat sebelum aku benar-benar merasa lebih baik berpikir aku tidak mengacaukan apa pun. "Kau benar-benar berusaha keras" aku menjitak kepalanya."Kau tidak membantu, Inda"Adik Irki hampir seumuran denganku, makanya dia merasa bisa bersikap kurang ajar meski aku lebih akrab dengan kakaknya. Mungkin dia hanya ingin mengingatkan agar aku lebih sopan pada kakaknya atau entahlah."Sayang sekali, Irki sangat mencintai bunga-bunganya" kata Inda, ikut berjongkok di sebelahku.Aku tau itu, dia tidak perlu mengatakannya setiap hari. Mungkin aku lebih tau dari dia. Entahlah, apa aku satu-satunya yang pernah melihat Irki hampir mati demi bunga?"Salahnya dia pergi""Menurutmu dia tidak akan kembali?"Aku tidak tau. Kemungkinannya kecil sekali dia bisa kembali. Kami memang masih hidup setelah memasuki Hutan Utara empat tahun lalu. Tapi itu karena kami tidak sempat bertemu Baru, atau mungkin kami sempat? Aku tidak tau. Banyak sekali yang tidak kutau."Menurutku dia akan kembali" ucapan Inda jauh membuatku merasa lebih sedih dari pada terkejut. "Irki berbeda. Dia pasti bisa mengalahkan monster itu. Seperti yang dia lakukan pada monster yang melukai kakimu""Inda, makhluk itu tidak melukai kakiku" tak ada yang percaya pada apa yang aku dan Irki katakan dua tahun lalu, apa yang terjadi padaku. Jadi Irki mengarang cerita. Dia bilang menakuti seekor monster dengan bunga sebelum aku sempat dimakan. Aku bahkan heran orang-orang lebih mempercayainya."Katakan itu pada bekas lukamu" Inda melirik ke arah kakiku, aku lihat dia sedikit bergidik. "Aku yang mengenal Irki jauh lebih lama daripada kau! Ingat tidak waktu seekor kerbau mengamuk dan menghancurkan sawah kepala desa? Orang hanya bilang seorang remaja heroik menghentikannya, tapi mereka tak pernah bilang kalau Irki yang melakukannya, dia masih empat belas tahun waktu itu""Kau benar-benar menyukai kakakmu, bukan?""Kau mungkin berpikir aku membual, tapi kaulah yang tidak tau apa-apa soal Irki""Aku tau dia sangat suka bunga""Hanya itu" aku tidak akan mendebatnya soal itu "Kau tau alasan lain kenapa kuyakin dia akan kembali?""Aku tidak penasaran""Karena dia memintamu merawat bunganya sampai dia kembali, begitukan yang dia bilang? Sampai dia kembali, artinya dia akan kembali. Maksudku kalau dia seputus asa itu tidak akan kembali, dia akan meminta orang lain untuk merawat bunga-bunganya," Inda berdiri dan berkacak pinggang di depanku "dan harapan adalah senjata paling kuat yang manusia miliki"Aku tidak peduli betapa filosofis kata-kata Inda "Apa kau baru saja menyebutku tidak becus merawat bunga?" aku memang mengatakannya pada diri sendiri, tapi mendengarnya dari orang lain rasanya menyebalkan."Maksudku, lihat apa yang kau lakukan""Akan kusiram kau dengan pupuk!"6. Anak-Anak yang Ditemukan
Apakah kemudian aku yang mengikuti Irki atau Irki yang mengikutiku tidak benar-benar bisa dipastikan. Kami menuju ke arah yang sama, benar, tapi silih berganti memimpin jalan. Seolah-olah pergi beriringan tapi tidak juga.Tidak banyak percakapan di antara kami kecuali sapaan saat kami pertama bertemu tadi."Mau pergi ke Baru?" tanyanya. Aku menjawab dengan mengangguk "Aku juga, namaku Irki"Aku tidak balas memperkenalkan diri, tidak ada gunanya, pikirku waktu itu.Sampai suatu titik, Hutan Utara tidak begitu berbahaya. Daerah hutan yang masih dekat dengan desa tidak begitu lebat. Irki juga pasti tau jalur aman itu, makanya kami bisa berjalan beriringan sejauh ini.Langkah kami berhenti di titik itu. Ketika rumput-rumput kentara lebih tinggi dari yang telah kami lalui. Di depan, hutan jauh lebih gelap dari yang telah kami arungi. Dan suara-suara yang menunggu kami jauh lebih berisik dari saat kami pertama datang.Saat itu, aku sadar aku membohongi diri sendiri bahwa aku tidak takut apa pun. Aku tiga belas tahun saat itu, dan satu-satunya yang membuatku tidak kembali adalah bayangan amarah ibu karena keluar tengah malam.Irki melangkah lebih dulu, matanya kelihatan jadi lebih berkilat daripada tadi. Sekarang status kami jelas. Aku mengikuti Irki. Meski masih dengan alasan yang berbeda. Mungkin karena itu aku menjaga jarak beberapa langkah dari Irki. Sambil mengumpulkan sisa-sisa keberanian supaya aku tidak refleks meminta perlindungan darinya. Bukannya aku percaya padanya, anak itu membawa parang, posisinya jelas jauh lebih menguntungkan dariku."Kau dengar itu?"Aku awalnya tidak mengerti, ada banyak suara di hutan ini, yang mana yang dia maksud?Kemudian dia berlari. Aku mengejarnya. Aku tidak tau kenapa aku mengejarnya.Aku sempat berpikir mungkin aku salah mengira dia masuk untuk hidup saat melihatnya mulai berlari ke arah sungai. Aku ingin memakinya kalau dia sudah gila tapi sadar kalau aku tidak jauh bedanya. Kemudian dia berhenti. Tepat sebelum tubuhnya masuk jatuh ke sungai. Aku menghampirinya yang duduk dan sepertinya mencoba meraih sesuatu dari bibir sungai."Kuwalaya!"Di bawah sana, aku melihat apa yang Irki lihat dan mendengar apa yang dia dengar. Sebuah bunga berpendar biru yang mengeluarkan suara gemerincing. Bunga itu mungkin beberapa depa dari kami, konyol sekali melihat Irki mengulur-ulurkan tangan seolah ingin meraihnya."Kuwalaya?""Eh, bukan juga sebenarnya. Aku menyebutnya begitu karena warnanya biru dan dia terlihat ajaib seperti Kuwalaya" katanya "Kau setuju kan?""Yah, bunga yang berpendar biru dan bergemerincing memang bukan sesuatu yang bisa dikatakan biasa, aku rasa""Aku akan mengambilnya!""Apa?""Aku akan membawanya pulang dan menanamnya di depan rumah"Sebelum bisa ku cegah Irki memanjat turun. Bodohnya dia tidak meletakan parangnya dulu. Waktu kutanya kenapa dia melakukan itu—setelah kami keluar dari situasi itu—dia bilang dia pikir dia akan membutuhkannya ketika menggali bunga itu. Masuk akal jika tanahnya cukup keras, sayang tidak. Tanah itu bahkan tidak cukup keras untuk bisa di injak Irki. Dua langkah menuju kebawah, kakinya tergelincir satu, kemudian keduanya. Aku menarik tangannya yang tidak memegang parang tepat waktu."Kau harus lepaskan parang itu! Panjat tanganku!"Aku hanya memberikan satu tangan untuk Irki, yang satu lagi kugunakan untuk bertumpu pada tanah. Dan mengingat Irki tergelincir karena tanah rapuh, aku tidak yakin akan sampai kapan aku bisa bertahan sebelum kami berdua sama-sama jatuh."Tidak bisa, aku butuh ini untuk menghadapi Baru""Kau tidak bisa menghadapi Baru, kalau mati!""Aku tidak bisa hidup melawan Baru, kalau tidak membawa ini""Irki!""Baiklah baiklah!" akhirnya ia menjatuhkan parangnya, benda itu terseret jatuh bersama tanah yang ditabraknya menuju aliran sungai deras di bawah sana."Sekarang raih tangan—" tanah melepaskan tangan kiriku. Aku bisa merasakan dibawah tubuhku tanah juga akan segera runtuh "Irki cepat!"Tapi terlambat.Aku merasakan tubuhku bergerak ke bawah. Dan kilau semangat di mata Irki padam. Yang aku sesali hanya, kasihan anak itu, ini bukan yang diinginkannya. Dia masih memegang tanganku seolah masih ada harapan. Dan mengingat kembali, aku bersyukur dia melakukannya.Sesuatu menarik kakiku. Kami selamat.Saat berhasil duduk di atas. Kami tidak sempat berterima kasih pada makhluk apapun yang menolong kami. Sebab ia sudah tak ada di sana. Mengerikan membayangkan seberapa cepat makhluk itu berlari sampai dalam sekali tengok saja dia sudah menghilang. Ia benar-benar tidak meninggalkan apapun, kecuali luka cakar pada kakiku.

7. diingkari: Bunga TerawatHari kelima sejak Irki pergi.Aku benar-benar menghancurkan semuanya. Tidak ada bunga Irki yang bertahan. Semuanya layu, sekarang aku yakin, karena semua warna bunganya berubah warna coklat, semua daun-daunnya menjadi kering dan bau. Ini sudah tidak bisa di sebut kebun bunga lagi."Wow" Inda selalu datang tepat waktu, bukan? Aku bahkan belum berpikir untuk membela diriku saat ini. "Kau, jangan pernah masuk ke kebun keluarga kami ya, bisa hancur bisnis keluargaku"Aku tidak punya tenaga atau kata-kata untuk membalasnya. Dia benar. Aku tidak becus mengurus bunga. Ini bahkan lebih dari sekadar tidak becus. Aku menghancurkannya. Bagaimana bisa? Aku masih tidak habis pikir bagaimana merawat bunga bisa berbeda jauh dengan menanam sayur?"Hei!" Inda menyadarkanku dari lamunan, sepertinya kesal aku tidak membalas ejekannya. "Kau takkan menyiramku dengan pupuk?""Inda, tinggalkan aku sendiri""Oh kau akan menyendiri merenungi kesalahanmu sekarang" aku pikir dia sudah selesai, kenapa sih anak ini selalu mengangguku, bisakah dia setidaknya pergi jika tidak membantuku? "Inilah perbedaanmu dengan Irki, kau selalu bilang akan menyiramku dengan pupuk tapi tidak pernah melakukannya"Irki. Irki. Irki. Kenapa selalu dia? Kenapa Inda selalu menyebut-nyebut namanya? "Yah, Irki bilang tidak akan membunuh Baru tapi dia akan melakukannya! Aku tidak tau kalau itu lebih baik" aku berteriak. Aku lupa Ibu mereka masih di dalam rumah. "Maaf, kau benar, aku, aku sepertinya harus pulang"Dan aku pulang. Aku pulang dari rumah Irki tanpa melakukan apapun, membiarkan kebun bunganya hancur mengerikan seperti makam bunga-bunga. Ibu bahkan bertanya kenapa aku pulang begitu cepat dari sana. Aku tidak bisa menjawabnya, dan langsung pergi ke kamar, melakukan apa yang Inda katakan, merenungi kesalahanku.Perkamen yang Irki berikan ada di lemari buku. Aku membukanya sekali lagi dan menyesal kenapa melakukannya. Benda itu hanya membuatku kesal. Semua hal ini mengesalkan.***"Wah, aku tidak menyangka kau akan benar-benar menyerah"Aku tidak datang ke rumah Irki hari ini, tapi Inda malah menghampiriku ke rumah. Kenapa sih dengan anak itu, kalau aku memang sedang ingin dihina-hina, aku akan datang ke rumahnya, dia tidak perlu repot-repot kemari.Inda berteriak memanggil Ibuku, berkata kalau dia akan meminjamku untuk merawat bunga Irki. Ibu tau soal janjiku. Tapi beliau tidak tau aku sudah gagal."Sebenarnya apa sih maumu, Inda?" tanyaku"Aku tidak bisa membiarkanmu merusak kebun kakakku, lalu kabur begitu saja"Aku butuh waktu untuk mencerna kata-katanya. Inda menuduhku kabur? Mungkin benar, tapi itu tidak menjawab pertanyaanku. Apa sebenarnya yang dia mau dengan mengejekku tiap hari, tidak membantuku sama sekali, dan masih menagih janjiku pada kakaknya?Begitu sampai di kebun Irki. Aku tidak bisa tidak menahan nafas. Semua bunganya hilang. Bukan karena kelopaknya mati dan berguguran, seseorang telah memotongnya. Inda memotongnya."Bunga-bunga busuk itu penyakit, kita harus menyingkirkannya sebelum menyebar" begitu katanya "Nah, sekarang mari selesaikan masalahmu"Inda mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Aku kira kami akan merawat kebunnya, tapi Inda sepertinya memikirkan hal lain.Setelah berteriak pada ibunya bahwa ia akan ke perpustakaan, dia rupanya mengajakku ke sana. Perpustakaan keluarga Irki adalah sepetak kamar kecil di ujung rumahnya. Buku-buku berjajar rapi memenuhi lemari yang ditempel di salah satu sisi dinding. Kebanyakan buku-buku itu tentang bunga dan berkebun. Sepasang meja dan kursi terletak rapi di jendela, ruangan itu menghadap ke barat, sehingga meski sudah sore ruangan itu menjdi tidak terlalu gelap.Inda menyuruhku menunggu sebentar, sementara dia mengambil sesuatu di kamar Irki.Aku memperhatikan, lemari buku itu punya ukiran huruf di tiap raknya. Memastikan semua buku tersusun sesuai urusan abjad. Saat aku menyusuri judul-judul buku itu, aku menyadari sesuatu. Masih di deretan buku di rak paling atas, sebuah buku tanpa judul buku dipunggungnya. Tentu saja, itu karena punggungnya tidak bisa ditulisi, ia terbuat dari kumpulan kertas yang dijahit, tidak memiliki sampul kulit. Aku meraihnya, aku kenal baik buku itu, Hewan-hewan Berkuku Tajam di Hutan Utara, buku itu hanya ada satu di dunia, dibawah judulnya tertulis namaku."Apa itu?" Inda tiba-tiba muncul di depan pintu, ia membawa sebuah perkamen."Bukuku, Irki meminjamnya entah sejak kapan. Aku ambil, ya?""Kau menulis buku?" Inda berjalan menuju meja dekat jendela, lalu membuka perkamennya."Tidak, ini, hanya kumpulan catatan dari buku-buku di perpustakaan kota" jelasku, aku mengintip pada perkamen yang dibaca Inda "Apa itu?""Bunga-bunga Irki" jelasnya "Kita akan melihatnya dari sini, lalu mencari buku yang menjelaskan tentang cara merawatnya"Oh, aku mengerti. Perkamen itu seperti bukuku, hanya menyimpan hal-hal yang diperlukan saja. "Di sana tidak ada?""Kau lihat saja sendiri"Inda benar, isi perkamen itu sangat khas Irki, tidak jelas. Aku tidak mengerti dia menulis ini berdasarkan apa, berdasarkan abjad kah, berdasarkan bunga yang paling disuka kah, atau sebenarnya apa yang dia coba ingat dengan catatan itu.Beberapa bunga sepertinya memiliki deskripsi yang sangat panjang, ditulis kecil-kecil dengan rapi. Yang lain hanya memiliki beberapa kata saja. Sampai sebelum Ind menunjukkannya padaku, aku hampir kesal kenapa Irki tidak memberikan benda ini saja padaku daripada perkamen dengan setengah kalimat itu. Tapi ini juga tidak ada gunanya."Baiklah, mari kita lihat, Ranggagni konon berasal dari buana larang, mitos itu datang hanya karena dia merah terang dan mampu hidup dalam gersang. Nyatanya ranggagni hidup liar bagai semak belukar penyelamat mereka yang tersasar"Apakah aku sudah pernah bilang kalau bunga-bunga Irki kebanyakan aneh?"Kalian punya buku soal itu?""Dagdha punya banyak jenis bunga merah, aku rasa kita bisa mencarinya berdasarkan itu. Sebentar, satu bunga lagi, kita bagi tugas"Kali ini aku yang membaca "Melatam sekilas mirip melati. Kecuali dengan titik hitam pada kelopak tepi. Awam digunakan untuk mengakhiri diri. Padahal cukup cantiknya yang dinikmati""Ah, bunga beracun"Sebelum aku mempertanyakan kenapa Irki memelihara bunga beracun di kebunnya, Inda sudah berbalik dan menyusuri buku-buku. Dia mengambil setidaknya lima buku.Tiga buku dengan ukuran dan warna sampul yang mirip di berikan padaku, aku membaca sampulnya Tanaman-tanaman Beracun jilid I. Sepertinya buku-buku itu semacam buku bersambung.Dua sisanya, adalah buku paling tebal dan paling tipis dari tumpukan. Mengenal Kerajaan Dagdha: edisi Tetumbuhan dan Yang Perlu diketahui para Pengembara."Kau cari Melatam, aku cari Ranggagni""Inda, kenapa kau membantuku?"Pertanyaanku yang sesungguhnya adalah, kenapa dia tidak membantuku sejak awal, tapi itu sudah terjawab. Inda juga tidak tau cara merawat bunga-bunga Irki yang tidak biasa. Sepertinya dia pikir aku tau, tapi setelah membunuh semua bunganya dia baru sadar kalau aku juga tidak tau."Ini bukan untukmu, ini untuk Irki" jelasnya "Aku tak akan membiarkan dia kembali dan melihat kebun bunganya seperti itu"Inda sungguh-sungguh percaya kalau Irki akan kembali. Yah, dia tidak salah. Irki kembali keesokan harinya.8. Utang Budi
Hutan Utara mungkin awal perkenalan Irki denganku, tapi itu bukan awal perkenalanku dengan Irki.Keluarga Irki adalah satu-satunya yang menjual bunga. Orang-orang biasanya memiliki sawah, berternak, menanam sayur. Tapi keluarga Irki menjual bunga, dan mau tak mau jadi mencolok.Aku kebetulan satu kereta yang sama dengan Irki dalam pengiriman panen ke kota beberapa minggu setelah kami keluar dari Hutan Utara. Ini bukan pertama kalinya aku satu kereta dengannya. Tapi ini pertama kalinya dia menyapaku. Pertama kalinya juga bagiku memperhatikan karangan-karangan bunga yang akan dijualnya di kota."Kenapa bunga?" aku bertanya padanya waktu itu."Kenapa tidak? Mereka indah""Apa gunanya keindahan kalau kau mati kelaparan?"Irki nampak berpikir sebentar, lalu menjawab sambil melihat bunga-bunganya "Supaya kau tidak bersedih karena bertahan hidup" lalu ia tertawa seolah tidak baru saja mengatakan sesuatu yang mengerikan.Kami berpisah. Aku turun di pasar bersama sayur-sayuran untuk kujual ke tukang sayur. Sementara Irki melanjutkan perjalanan menuju istana. Penobatan Raja Manda akan dilakukan beberapa hari lagi. Mereka butuh banyak sekali bunga. Kadang aku heran kenapa mereka melakukannya, bunga mengundang kupu-kupu dan semua orang tau kalau keluarga kerajaan—ah, aku tidak boleh membahasnya.Kereta pulang ke desa akan berangkat besok pagi-pagi. Maka aku harus pergi ke rumah pamanku untuk menginap. Ini hal tidak biasa lainnya, sudah berlangsung beberapa bulan tapi aku masih belum terbiasa. Biasanya aku menginap di penginapan, setelah membeli kain dan makanan aneh, mampir sebentar di rumah paman, lalu kembali ke penginapan bersama ayah.Ah, lagipula aku tidak terlalu suka pasar. Terlalu ramai di sana.Rumah paman tidak jauh dari pasar, aku hanya tinggal berjalan kaki ke sana. Dan aku tidak terkejut ketika Irki tiba-tiba menyapaku dari belakang. Sepertinya muncul tiba-tiba sudah jadi kebiasaannya.Ia menarik sebuah gerobak kecil dengan banyak bunga di dalamnya, berkata hendak pergi ke rumah pamanku. Paman membeli beberapa bunga, perwakilan berkabung untuk ayah. Aku, kalau boleh jujur, merasa sangat skeptis soal hal itu—ah sudahlah. Aku tidak bisa terus menerus menyalahkan keadaan kan? Lihat Irki, senyumnya lebar sekali seolah ia tidak pernah memegang parang penuh kebencian hendak membalas dendam pada Baru.Konyol juga kalau dipikir-pikir. Reaksiku pada kematian ayah adalah bunuh diri. Reaksi Irki pada kematian ayahnya adalah dendam. Aku rasa itu menjelaskan banyak perbedaan di antara kami."Bunga apa yang dipesan pamanku?""Kuwalaya""Apa?""Aku bercanda. Dia memesan Bunga Tiga Bulan, lihat, yang warna biru itu"Aku curiga dia menyebut semua bunga yang berwarna biru sebagai Kuwalaya.Saat kami sampai di rumah paman, beliau menyambutku dengan pelukan dan air mata. Sudah seperti ini sejak aku harus ke kota sendirian karena ayah tidak kembali.Aku memperkenalkan Irki, paman bahkan memeluknya lebih erat. Ibu pasti mengirim surat bercerita soal kejadian bulan lalu, karena paman berterima kasih soal menyelamatkanku dari monster."Kau juga menginap lah di sini, anggap ini wujud terima kasih""Ah, tak usah repot-repot paman" Irki jelas menolak. Aku mengerti rasanya, dipuji atas sesuatu yang tidak dilakukan pasti terasa mengerikan "Lagipula aku masih harus mengantar bunga""Oh, setidaknya ikut makan malam bersama kami" pamanku adalah orang yang gigih. Ayah sudah berpengalaman seumur hidup menolak kebaikan hatinya, Irki jelas tidak ada apa-apanya.Irki terpaksa menyetujui yang satu itu. Lalu dia pamit."Aku akan membantu Irki menjual bunga"Dua orang itu tampak kaget. Aku memang tidak membicarakan ini dengan Irki. Terpikir begitu saja. Paman tersenyum, mungkin senang aku tak perlu berlama-lama di rumahnya.Kami pergi, tujuan Irki selanjutnya adalah perpustakaan kota. Aku tidak sadar bunga memiliki banyak sekali daya jual hampir di setiap bagian. Yang pasti aku tak pernah menjual sayur ke perpustakaan."Kau tak perlu begitu keras pada pamanmu" ucapan Irki disela-sela percakapan kami dalam menghilangkan bosan membuatku bingung."Aku tidak keras pada paman""Kau tidak membalas pelukannya, tidak tersenyum sama sekali padanya, dan langsung pergi dari rumahnya begitu ada kesempatan?" tambah Irki "Apa dia kakak ayahmu?""Bagaimana kau tau?""Maaf. Tapi apa kau terpikir, harusnya dia yang gugur?"Wajahku pasti terlihat mengerikan. Irki berkali-kali meminta maaf setelah mengatakan itu.Aku tidak pernah menceritakan ini pada siapapun. Tidak pernah juga berniat melakukannya. Aku mungkin kesal pada paman. Tapi bukan karena aku ingin dia mati menggantikan ayah. Dalam banyak kesempatan, aku lebih sering berpihak pada paman daripada ayah. Aku selalu setuju dengannya bahwa cara terbaik menangani Baru adalah pergi menjauh dari Baru. Aku kagum ketika dia memilih meninggalkan desa. Aku berharap paman bisa meyakinkan ayah untuk melakukan hal yang sama. Paman orang yang gigih, tapi ayah sudah berpengalaman seumur hidup menolak kebaikan hatinya. Aku mungkin kesal karena dia tidak berusaha lebih keras, padahal semua ini bukan salahnya."Kau tau apa arti Bunga Tiga Bulan?""Apa?""Permintaan maaf"Itu tidak mengubah apapun. Ayahku tetap pergi. Aku tetap ditinggalkan.Kami sampai di perpustakaan. Bangunan itu lebih besar dari yang aku kira. Pintunya memiliki dua daun dan tingginya mungkin sampai tiga depa orang dewasa. Ada ukiran di setiap kayu yang terpasang disana. Entah pintu, jendela, tiang, bahkan penyangga lentera. Yang menarik perhatianku sebenarnya adalah bunga-bunga yang ada di bawah setiap jendela. Untuk apa mereka membeli bunga lagi?Irki menyapa seorang anak yang sedang bermain tidak jauh dari sana. Dia memanggil seorang, tapi semua teman-temannya datang menghampiri."Bang Irki" sahut mereka kegirangan. Sepertinya Irki mengenal baik semua anak-anak kecil ini--aku tau aku juga anak kecil, tapi mereka jauh lebih kecil dariku--"Tolong jaga gerobakku ya"Mereka mengiyakan dengan antusias kemudian berbicara bersahut-sahutan tentang banyak hal. Aku kesulitan mendengarnya dengan jelas. Irki mengangguk-ngangguk sambil berusaha menenangkan mereka. Kami harus masuk mengantar bunga."Berkelilinglah, aku akan menemui kepala perpustakaan"Ini pertama kalinya aku ke perpustakaan kota. Jujur saja aku tidak tau apa yang dimaksud Irki dengan 'berkeliling'. Lemari-lemari disana seolah lebih tinggi dari pohon-pohon Hutan Utara, melihatnya saja aku tau aku akan tersesat. Orang-orang berlalu lalang keluar masuk lorong tapi sepertinya tidak pernah orang yang sama. Seolah mereka masuk dan tidak keluar lagi.Aku takkan memasuki lorong itu. Irki akan kesulitan mencariku. Ada meja panjang dengan kursi dekat pintu. Aku akan duduk di sana. Seseorang, lebih tua dariku, sedang tertidur dengan tumppukan buku-buku menjulang tinggi di kanan-kirinya. Aku rasa dia tidak akan keberatan aku meminjam satu untuk menghilangkan kebosanan.Buku itu membosankan. Pilihan yang payah. Isinya tentang penanganan berbagai jenis luka. Aku agak tertarik karena luka makhluk utara yang menolongku tidak kunjung hilang. Tapi sejauh ini aku tidak merasa butuh informasi ini.Aku baru selesai membaca tiga halaman ketika Irki keluar dari kantor kepala perpustakaan. Aku membuat keputusan tepat tidak mengelilingi perpustakaan. Irki tidak perlu buang-buang waktu mencariku."Kau pernah bertanya-tanya makhluk apa yang menolong kita, tidak?" aku bertanya pada Irki dalam perjalanan kami mengantar bunga ke tempat selanjutnya."Tidak juga, kenapa?""Aku tiba-tiba penasaran saja. Tidakkah kaupikir kita berutang budi padanya?""Mungkin iya, tapi kalau dia hewan, aku rasa dia juga tidak sadar dengan apa yang dilakukannya, kau tau, insting saja" Irki nampak berpikir sebentar "Lagipula apa yang akan kau lakukan kalau tau"Aku mengangkat bahu, "Entahlah, mencoba balas menyelamatkan nyawanya, mungkin?"

9. Utang NyawaPerburuan Baru dimulai dua puluh tahun lalu. Aku bahkan belum lahir. Aku tidak begitu paham bagaimana mulanya. Detilnya tak pernah sampai padaku. Tapi yang pasti, setiap tahun sejak saat itu, perburuan Baru selalu diadakan di awal musim kemarau.Dan semua orang seperti setuju saja dengan tradisi ini, kau tau? Cerita-cerita tentang betapa mengerikannya Hutan Utara sudah diturunkan beratus-ratus tahun, dan sekarang Baru menanggung semua kengerian itu.Bagaimana kami tau itu ulah Baru, kau bertanya. Para pemburu yang pergi tidak selalu tidak kembali dengan selamat. Beberapa kembali dengan luka mengerikan dan bisa bercerita satu-dua tentang makhluk yang sama. Beruang hitam raksasa. Sebelum akhirnya ajal menjemput mereka di rumah tabib. Selama siklus beberapa tahun, Baru keluar dari hutan, memakan ternak, dan kami hanya tau dari jejak yang ditinggalkan.Membunuh Baru, menjadi tujuan nyaris semua orang. Mereka yang tidak setuju kebanyakan meninggalkan desa. Menyelamatkan anak-anak mereka dari delusi bahwa membunuh Baru berarti menjadi pahlawan. Menyelamatkan mereka dari keinginan menjadi martir, salah satu dari empat sampai delapan orang pilihan yang dikirim ke Hutan Utara untuk mati.Waktu nama Irki disebut di aula desa saat mereka mengumumkan peserta ekspedisi tahun ini. Aku sama sekali tidak terkejut. Semua remaja diatas tujuh belas tahun bisa ikut. Dua tahun terakhir, nama Irki juga di sebut, tapi dia menolak. Aku tak tau apakah itu karena kami belum bisa menemukan hewan apa yang menyelamatkan kami empat tahun lalu, dan bagaimana jika itu Baru?Manusia selalu menyembunyikan sesuatu. Setidaknya aku tau orang dewasa melakukannya. Menolak percaya pada anak-anak, membuat kebohongan mereka sendiri. Pasti ada sesuatu di balik setujunya Irki untuk ikut ekspedisi kali ini.Bahkan meski tau itu. Aku tetap marah pada Irki.Tidak, kami tidak bertengkar. Sampai hari terakhir sebelum dia pergi dan memberi perkamen itu, aku sama sekali tidak berteriak padanya. Aku tidak bilang kalau aku marah karena dia pergi. Aku hanya tidak melakukan apapun.Aku diam saja saat dalam salam perpisahannya, Irki menyindirku—didepan semua orang—yang tidak percaya ia akan kembali. Tapi apa dia orang yang sama saat kembali?Aku diam saat orang menyemangatinya, memberi hadiah, membantunya mempersiapkan ekspedisi. Aku mungkin satu-satunya yang tidak ingin dia pergi. Atau mungkin satu dari dua? Apa Irki sungguh ingin pergi?Apa selama ini dendamnya tidak pernah hilang? Apa menyelamatkan desa adalah impiannya? Tapi bukankah dia ingin menjadi tukang bunga seumur hidup? Menghilangkan kesedihan mereka yang belum mati? Bagaimana caranya kalau dia mati di Hutan Utara?Antara aku tidak mengerti atau tidak mau mengerti. Irki menemaniku ke perpustakaan kota setiap bulan. Berkata membalas budiku karena tak melepaskannya di Hutan Utara, tapi makhluk itu yang menarik kami, makhluk itu yang menyelamatkan nyawa kami. Sampai aku tau makhluk apa itu, aku berutang pada semua makhluk berkuku tajam di Hutan Utara.Apakah Irki memikirkan ini? Aku kira dia memikirkannya, karena dia meminjam bukuku. Mungkin tidak. Mungkin semua hal yang kukira kutau tentang Irki tidak benar. Bukan karena dia berbohong. Aku membohongi diriku sendiri. Terlalu senang bertemu orang lain yang tidak terobsesi pada Baru meski jelas-jelas bertemu dengannya saat ia ingin membalas dendam pada Baru. Aku mempercayai apa yang ingin kupercayai.Tapi di atas segalanya, aku terlalu naif berpikir apa yang kupercayai lebih penting dari apa yang seluruh warga desa percayai.***Irki. Sudah. Gila.Ibu menangis di luar kamarku. Aku memeluk diri dalam selimut, mencoba menghentikan kakiku yang tidak mau berhenti memukul-mukul dipan. Nafasku memburu, dan menyebalkan karena setiap hirupan terpaksa kuhidu juga bau busuk dari kotak kayu yang Irki beri sore ini. Kebingungan sudah memenuhi kepalaku belakangan, tapi aku selalu berusaha keras membuat semuanya masuk akal, semarah apapun aku berusaha memahami bahwa Irki juga ketakutan dan semua ini hanya kemalangan yang menimpanya. Tapi yang terakhir ini, aku tidak mengerti, dan sekeras apapun aku berusaha, aku tidak bisa mengerti.Siang tadi Irki berdiri di atas podium aula desa. Bukan hal baru, dia sering melakukannya semenjak kembali. Orang-orang sering melakukannya. Tapi apa pun itu, aku tak pernah datang menyaksikan. Berita mudah menyebar di desa kecil kami, dan aula selalu ramai, jadi untuk apa aku buang-buang tenaga.Tapi satu, Irki mengumumkan perburuan akan dilakukan lagi. Kenapa? Dia membunuh Baru dengan tangannya sendiri! Ini bahkan belum ada sebulan sejak perburuan terakhir, untuk apa lagi mengirim orang untuk mati ke dalam hutan Utara?Kedua. Dia menyebut peserta ekpedisi. Tidak empat orang, tidak enam orang apalagi delapan orang. Dia hanya menyebut dua nama. Namanya sendiri dan namaku. Kenapa? Aku menghindarinya dengan sangat buruk. Apa yang diinginkannya? Apa dia sebegitu kesal dengan bunga-bunganya? Apa ini pembalasan dendam? Seperti yang dia lakukan dengan Baru?Ketiga. Kotak kayu itu. Inda mengantarnya bersama pengumuman Irki. Kotak itu berisi sepotong kaki Baru. Jarak kuku-kukunya persis dengan luka kakiku. Kenapa? Dia pikir aku akan senang bahwa ketakutanku selama ini benar? Bahwa Baru yang menyelamatkan kami? Dan sekarang aku tak perlu memenuhi harapan konyol membalas budi karena tebak, aku sudah gagal sebelum berusaha.Ketukan di pintu membuat kakiku berhenti memukul dipan, demi memastikan apa aku benar-benar mendengar suara ketukan pintu.Irki memanggil namaku."Pergi" aku sendiri tidak percaya dengan betapa pelannya suaraku. Tapi seharusnya itu cukup untuk terdengar sampai keluar.Inda sudah bilang, saat memberi kotak itu, bahwa Irki ingin bicara. Aku tidak. Aku tidak mau bicara dengan Irki. Aku tak mau percaya bahwa semua ini nyata. Aku tak tau apa aku sanggup mendengar dari mulutnya langsung bahwa dia melakukan apa yang dia lakukan."Aku akan masuk"Aku rasa saat itu, saat aku melihat Irki dan Irki melihatku. Kami dalam posisi yang sama. Masing-masing tidak percaya kalau orang yang dilihatnya adalah orang yang mereka kenal.Irki duduk diatas kotak kayu, ia menarik nafas dalam-dalam dan bersiap untuk mengatakan sesuatu."Kau harus membantuku"Omong kosong. Aku tidak bisa membantunya. Aku merusak bunga-bunganya, apa lagi yang dia harapkan dariku?"Baru, dia betina, dia punya tiga anak beruang"Aku benci percakapan ini. Irki jelas-jelas tidak sedang mencoba membuatku merasa lebih baik."Harus ada yang mencegah mereka membalas dendam pada warga desa""Aku tidak mengerti" ucapku pelan. "Aku paham alasanmu dan semua orang memburu Baru, tapi kenapa kau mau membunuh anak-anaknya? Mereka tidak melakukan kesalahan apapun""Mereka belum melakukannya""Mereka anak-anak! Anak beruang! Anak binatang tak berakal yang kehilangan induknya! Mereka akan mati, mereka sudah mati ketika kau membunuh Baru"Irki menghela nafas berat lainnya. Ada yang dia sembunyikan dariku, aku tau itu, dia hanya menekankan apa yang sudah kutau. "Mereka akan datang dan membunuh SEMUA warga desa sampai tak bersisa"Aku hanya terkekeh pelan mendengar kata-kata Irki. Apa dia sungguh tidak menyadari betapa konyolnya kata-katanya barusan. "Bahkan meski begitu, kenapa aku, kenapa sekarang? Aku bahkan belum tujuh belas tahun dan sebentar lagi musim hujan. Untuk orang yang sangat ingin meneruskan tradisi, kau melawan banyak pantangan" kataku. "Kau tau apa yang kupikirkan, Irki? Aku pikir kau hanya mengarang-ngarang alasan supaya bisa kembali kesana""Aku sungguh-sungguh, mereka akan membalas dendam""Kenapa kau begitu yakin?""Karena" Irki terdiam sebentar, "karena mereka bilang begitu" tambahnya. "Mereka Pargata"Informasi tidak masuk akal lainnya. Aku tidak tau banyak soal Pargata, aku nyaris tidak percaya mereka ada. Tapi seluruh kerajaan tau kalau Pargata adalah penjaga hutan. Mereka semacam penengah antara manusia dan hewan."Dan kau mau membunuh mereka?"Bahkan kalau mereka nyata, aku rasa membuat masalah dengan mereka sama sekali bukan pilihan bagus. Irki datang kemari untuk menjelaskan sesuatu, tapi bagiku semuanya hanya terdengar semakin rumit.Irki berdiri dari duduknya. Dia membuka kotak kayu yang dia duduki dan mengeluarkan isinya. Sambil memandang kuku-kuku Baru dia mulai berucap lagi."Baiklah kau benar, aku berbohong" katanya "Tapi ini satu-satunya cara memutus rantai perburuan. Setelah ini semuanya akan berakhir. Yang sebenarnya adalah, aku ingin kembali, tapi bukan untuk membunuh mereka. Itu semacam pertukaran terakhir, nyawaku untuk ibu mereka."Aku salah menilaimu. Dan aku baru menyadarinya belakangan ini. Ketika masuk ke hutan Utara empat tahun lalu, kau tidak datang untuk membunuh Baru. Aku pikir kau hanya kurang persiapan datang dengan tangan kosong. Tapi aku salah. Namun setidaknya aku benar soal satu hal. Kita semua, kau, aku dan semua warga desa ingin semua ini berakhir. Maka ini akan menjadi akhir."Oh, jadi kau mengajakku untuk mati karena aku gagal melakukannya empat tahun lalu, Irki?""Bukan!" sergahnya "Kau akan kembali. Kau akan kembali sebagai pahlawan. Katakan pada mereka kalau tak ada yang perlu dibalaskan lagi. Bawa tiga kaki Baru yang lain" tambahnya "Itulah kenapa kau yang harus harus membantuku. Setidaknya aku tau kau tak akan membalas mereka. Hanya kau satu-satunya orang desa yang tidak akan mendendam pada anak-anak Baru. Kau mengejek kebodohan ayahmu, kau akan mengejek kebodohanku kali ini"Anak itu baru saja mengaku kalau dia salah menilaiku, tapi sedetik kemudian berkata dengan percaya diri tentang apa yang akan aku lakukan.Tapi mungkin itu tak ada bedanya denganku. Belakangan ini aku frustrasi dengan pilihan-pilihan yang dia buat. Bertanya-tanya kenapa dia menyembunyikan banyak hal dariku. Mengakui aku tidak tau apa-apa, tapi tetap berusaha membuat segalanya masuk akal.Bahkan sekarang aku menutupi sesuatu. Irki salah berkata dia tau aku. Tapi dia benar soal satu hal, aku ingin semua ini berakhir. Aku takkan membiarkan anak-anak lain terpaksa menjadi yatim karena kebodohan melakukan kesalahan yang sama.10. Pahlawan MatiTengah malam ketika aku kembali dari Hutan Utara. Tenang memilukan ketika warga desa sadar aku kembali dengan tiga kaki beruang di tombakku, segenggam ranggagni ditanganku, dan bayangan kosong di sampingku.Aku menolak jamuan yang dijanjikan esok pagi. Aku menolak pesta penyambutan dan kematian yang mereka pikir layak aku dapatkan. Aku menolak memberi bahan cerita untuk desis orang-orang makan. Aku hanya ingin pulang, ada orang lain yang lebih pantas untuk dikenang dengan cara yang lebih dihormati oleh waktu.Inda, aku tau kau selalu menguping pembicaraanku dengan kakakmu. Itu satu hal yang tidak dia tau tentangmu. Dan satu hal yang tidak kau ketahui tentangku. Jadi aku tau, aku akan mati ditanganmu sesegera mungkin setelah keluar Hutan Utara karena membiarkan kakak yang sangat kau cintai itu gugur.Tapi itu satu hal lain yang Irki juga tidak tau. Saat memasuki hutan utara, dia mengira dia masuk untuk mati dan aku masuk untuk hidup. Maksudku adalah, kau tak perlu repot-repot, Inda. Aku juga takkan sanggup hidup karena terlalu bodoh membiarkan orang tewas di depan mataku tanpa melakukan apa-apa.Aku takkan membela diri. Toh, percuma. Mengatakan padamu bagaimana usahaku mencegah rencananya di detik-detik terakhir, pada akhirnya aku gagal. Aku gagal lagi. Selalu. Semuanya memang salahku sejak awal. Karena tidak berusaha lebih keras, atau bahkan karena setuju untuk ikut dengannya, atau bahkan karena membuatnya berpikir aku takkan merasa sakit hati meninggalkannya, atau bahkan karena memberinya kesempatan untuk berpikir dia mengenalku, atau bahkan karena bertemu dengannya sejak awal, atau bahkan karena pergi ke hutan itu empat tahun lalu, atau bahkan karena terlalu emosional karena ayah, atau bahkan ... aku rasa jika kuteruskan semua ini akan berakhir dengan aku menyesal karena aku dilahirkan.Aku mencuri melatam dari kebun kakakmu (kuharap aku tidak salah ambil, kau tau aku sangat bodoh dalam urusan bunga), tapi sebagai gantinya kukirimkan Bunga Tiga Bulan bersama catatan ini.
Permintaan terakhirku, dan permintaan terakhir kakakmu. Jangan mengikuti kebodohan kami datang ke Hutan Utara dengan parang dan kebencian. Jangan kecewakan kami dengan memulai kembali apa yang telah kami putus.Aku percaya padamu. Dan bukan karena aku mengenalmu. Bukan juga karena aku merasa kau akan melakukan apa yang aku pikir akan kau lakukan. Rasanya aneh menulis ini, tapi sama seperti kau percaya pada Irki, aku percaya padamu karena pada akhirnya hanya itu yang bisa kulakukan.Epilog(s)

• Aku HidupInda di sini. Si bodoh itu masih hidup. Aku tak menyangka akan sebersyukur ini mengetahui dia benar-benar bebal soal bunga. Kau bisa tebak, dia mengambil melati yang tepinya kotor oleh tanah.Waktu aku datang setelah berlari karena surat bunuh dirinya. Dia sedang menyesap secangkir melati. Tersenyum berkata aku tak perlu repot-repot. Aku tak pernah melihatnya menunjukkan banyak perasaan kau tau, tapi kurasa si bodoh itu cukup pantas disebut dramatis.Intinya dia hidup. Hanya itu yang perlu kau tau.Catatan.
Dia bilang kisah ini tentang Irki. Maka siapa dirinya selain anak tukang sayur tidak pernah penting. Tapi aku rasa itu hanya karena rasa bersalah dan rasa malu.• Sang Pengecut